Sabtu, 26 Maret 2011

Keresahan Deddy Mizwar Menatap Wajah Indonesia

ama Deddy Mizwar (Deddy) sudah bukan lagi sosok yang asing. Wajah dan gaya bertuturnya yang khas (hampir) setiap detik muncul di layar gelas melalui iklan produk tertentu yang dibintanginya. Dalam dunia sinematografi, Bang Deddy juga dikenal sebagai sosok yang kokoh dan konsisten dalam memperjuangkan idealismenya; berjuang melalui film untuk ikut berkiprah membangun peradaban yang lebih sensitif terhadap nilai-nilai humaniora. Tak heran kalau dia cukup disegani banyak orang. Empat piala Citra (film) dan dua piala Vidya (sinetron) makin membuktikan siapa sesungguhnya sineas kelahiran asli Betawi ini.

Tak heran pula ketika MGMP Bahasa Indonesia SMP bekerja sama dengan Mitra Edukatifa Semarang menggelar seminar nasional, kehadiran Bang Deddy amat ditunggu-tunggu para peserta. Alhamdulillah, akhirnya Bang Deddy benar-benar hadir di tengah peserta seminar yang sebagian besar berasal dari kalangan pendidik ini. Sekitar 120-an peserta yang mengikuti seminar di GOR SBR Purin Kendal pada Selasa, 30 November 2010, bagaikan menemukan kerinduannya terhadap sosok yang sudah amat familiar secara imajiner itu.

Seminar nasional yang digelar memang dimaksudkan untuk melihat dinamika dunia pendidikan dari sisi yang lain. Fungsi kultural sebuah sekolah bukanlah semata-mata mencekoki peserta didik dengan setumpuk ilmu pengetahuan yang menyampah di balik tempurung kepala, melainkan yang lebih utama, bagaimana membekali peserta didik agar mampu menghadapi tantangan hidup di tengah peradaban yang kian rumit dan kompleks.

Gambaran fungsi kultural dan spiritual tergambar jelas dalam film Alangkah Lucunya (Negeri Ini)/ALNI yang diputar sekitar dua jam (pukul 13.45-15.45 WIB) sebelum seminar dimulai. Film yang secara satire membidik kehidupan kaum marginal ini berhasil memukau para peserta. Sekawanan pencopet yang tak terurus oleh negara, sehingga kian larut dalam naluri agresivitas dan anomali sosial, merupakan potret realitas sosial yang tak terbantahkan. Amanat UUD 1945 bahwa anak-anak miskin dan telantar dipelihara oleh negara, barulah slogan kosong; sekadar melengkapi klausul sebuah UU. Selebihnya, kota-kota besar negeri ini (nyaris) bisa dipastikan menjadi “syurga” bagi kaum marginal dalam menuntaskan naluri kemiskinan dan kekerasannya.

Pemutaran film ALNI membuat animo peserta untuk bisa segera berdialog dengan Bang Deddy kian terpantik. Bersama Zairin Zain (sang produser) dengan dipandu Aslam Kussatyo (guru dan teaterawan), Bang Deddy benar-benar membuat seminar memiliki “roh”. Sesekali terdengar suara tawa pecah di sudut-sudut gedung yang biasa digunakan sebagai basis latihan badminton ketika Bang Deddy melontarkan joke-joke segar. Bukan Bang Deddy kalau tak bicara ceplas-ceplos dan kritis. Film, tegasnya, merupakan “sihir” yang mampu melakukan perubahan mind-set orang dalam memandang hidup dan kehidupan. Namun, anehnya kini gedung-gedung bioskup kian sulit ditemukan. Hampir setiap ruang publik sudah dijejali dengan slogan-slogan kaum kapitalis yang mewujud dalam bentuk mall, pasar swalayan, atau kemegahan-kemegahan lain yang bisa memanjakan kaum pemilik modal. Kondisi seperti itu diperparah dengan menjamurnya sinetron “picisan” yang suka menjual mimpi, tangis, dan air mata. Sinetron tak lagi membumi, tetapi kian mengapung dalam dunia imajiner yang melambungkan mimpi-mimpi penonton. Imbasnya, bangsa kita makin kehilangan sikap sensitif, toleran terhadap sesama, dan gampang sekali terperangkap dalam bayangan-bayangan semu yang tidak mengakar ke bumi.

Dalam film ALNI, Bang Deddy seperti memancarkan keresahan ketika menatap wajah Indonesia yang karut-marut. Anak-anak yatim, miskin, dan telantar seringkali tak terurus. Sementara, perilaku-perilaku korup dan sarat anomali kian membadai. Pada sisi yang lain, dunia pendidikan yang seharusnya mampu menjalankan kiprahnya sebagai agen peradaban seringkali tak berdaya akibat sentuhan kebijakan yang kurang mengakar pada nilai-nilai kepekaan, kearifan, dan keluhuran budi.

Meski demikian, Bang Deddy tak patah arang. Kecintaannya pada dunia seni peran dan sinematografi agaknya telah mengalahkan kemanjaannya bergelimang hidup di tengah kemewahan. Untuk membuat film bermutu yang mampu “menyihir” publik, berdasarkan pengakuannya, dia rela tekor. Secara finansial, dia tak banyak mendapatkan keuntungan. Namun, dari sisi kultural dan spiritual, Bang Deddy mengaku mendapatkan sesuatu yang tak ternilai harganya. Oleh karena itu, langkahnya tak akan pernah surut untuk membuat film-film bermutu, berkelas, dan mencerahkan di tengah tingkat apresiasi publik terhadap film yang dinilai masih amat rendah.

Sayangnya, kerinduan peserta terhadap sosok sineas itu harus berakhir. Malam harinya, mulai pukul 19.00, dia bersama Zairin Zain mesti mengisi acara yang sama di Universitas Negeri Semarang (UNNES). Maka, seminar pun terpaksa diakhiri pada pukul 17.15 WIB. Baiklah, Bang Deddy, kami tunggu karya-karya kreatifmu berikutnya. Meski secara langsung tidak sanggup melakukan sebuah perubahan, film tak akan pernah kehilangan perannya sebagai produk budaya yang layak diabadikan sebagai kekayaan kultural bangsa. ***

0 komentar:

Posting Komentar