Sabtu, 26 Maret 2011

Formula Baru UN Hendaknya Jangan Memutar Lagu Lama

Ujian Nasional (UN) untuk jenjang SMP/MTs, SMA/SMK/MA, menurut kabar yang beredar, baru akan digelar sekitar bulan April 2011. Namun, gaungnya sudah nyaring terdengar. Lebih-lebih setelah muncul wacana tentang formula UN yang konon akan berbeda dengan UN sebelumnya. Sebagaimana dilansir banyak media, Mendiknas, Mohamad Nuh, dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, menyatakan bahwa UN 2010/2011 akan lebih menghargai proses belajar mengajar yang dilalui siswa. Kelulusan peserta didik tidak hanya ditentukan berdasarkan perolehan nilai UN yang hanya ditempuh dalam beberapa hari saja, tetapi juga diperhitungkan berdasarkan nilai yang diperoleh siswa selama duduk di bangku sekolah.



Menurut Mendiknas, formula baru yang akan dilaksanakan adalah menggabungkan nilai UN dengan nilai sekolah (NS). Nilai sekolah adalah gabungan nilai ujian sekolah ditambah nilai rapor semester 1 – 4. Selain itu, nilai gabungan antara nilai sekolah dengan UN ditetapkan minimal 5,5. Nilai sekolah dan UN mempunyai bobot masing-masing yang akan ditentukan oleh pemerintah. Bobotnya akan ditentukan, namun bobot nilai sekolah akan lebih kecil dari bobot UN. Dengan adanya formula baru ini, tegas Mendiknas, UN ulangan akan ditiadakan tahun depan, karena syarat atau formula yang ada saat ini lebih longgar yakni maksimum dua mata pelajaran dengan nilai 4, dan minimum 4 mata pelajaran dengan nilai minimum 4,25. Selanjutnya, nilai kelulusan siswa adalah kombinasi dari nilai gabungan dengan nilai ujian sekolah seluruh mata pelajaran.

Sebuah kebijakan yang layak diapresiasi. Meski demikian, jangan sampai formula baru ini hanya memutar lagu lama. Jika tidak salah, ketika UN dulu bernama Ebtanas, formula dengan menggunakan komponen nilai p, q, dan r yang menggabungkan antara nilai rapor (p), pra-Ebta (q), dan Ebtanas (r) sudah pernah diterapkan. Namun, yang terjadi adalah kekonyolan demi kekonyolan. Sekolah bisa dengan mudah melakukan manipulasi nilai dengan mendongkrak nilai rapor dan pra-Ebta luar biasa tinggi untuk menolong peserta didik agar bisa lulus. Jika ini yang terjadi, maka manfaat hasil UN, sebagaimana disampaikan Mendiknas, yakni sebagai salah satu penentu kelulusan peserta didik; pemetaan mutu program satuan pendidikan secara nasional; pintu masuk untuk pembinaan dan perbaikan mutu pendidikan, baik di tingkat satuan pendidikan maupun nasional; mendorong motivasi belajar siswa; dan mendorong peningkatan mutu proses belajar mengajar, tidak akan tercapai.

Sudah bukan rahasia lagi, bangsa kita sudah lama terperangkap ke dalam sikap pragmatis. Mental jalan pintas yang tidak menghargai proses dan etos kerja keras sudah lama membudaya di negeri ini. Dalam konteks demikian, diperlukan kriteria kelulusan yang bisa menghargai perbedaan potensi dan kompetensi antarpeserta didik, baik di tingkat lokal, regional, maupun nasional. Kriteria kelulusan sekolah di Papua, misalnya, jelas tidak bisa disamakan dengan sekolah di Jakarta karena mutu fasilitas, sarana, dan prasananya memiliki kesenjangan yang amat jauh. Sungguh tidak masuk akal apabila kriteria kelulusannya disamakan. Ini artinya, sekolah di Papua diberikan kebebasan untuk menentukan kriteria kelulusan tersendiri. Meski demikian, kriteria kelulusan secara nasional tetap ada standarnya. Misalnya, kriteria kelulusan secara nasional rata-rata nilai 5,5. Sekolah di Papua boleh menentukan kriteria di bawah angka itu.

Untuk memperbaiki mutu lulusan sekolah di Papua, pemerintah pusat perlu melakukan intervensi lanjutan. Perlu dicari sebab-sebabnya, mengapa sekolah di Papua tidak mampu menetapkan kriteria kelulusan yang sama dengan standar nasional. Sebab-musabab yang telah diinventarisasi perlu dicarikan solusinya, misalnya dengan memberikan subsidi block-grant, atau apa pun namanya, yang bisa digunakan untuk meningkatkan mutu lulusan. Demikian juga sekolah-sekolah yang ada di daerah lain. Sekolah yang memiliki status berbeda pun perlu diberikan kriteria kelulusan tersendiri. Antara sekolah terbuka, sekolah reguler, sekolah standar nasional, dan sekolah berstandar internasional perlu diberikan kriteria kelulusan tersendiri.

Kalau memang UN 2011 hendak menggunakan formula baru, maka perlu diperhitungkan dengan cermat imbas kecurangan yang bakal terjadi. Perlu ada rumusan yang jelas, sehingga tidak ada celah bagi sekolah untuk melakukan manipulasi nilai. Jangan sampai terjadi, formula baru nanti justru makin membudayakan kecurangan demi kecurangan yang selama ini terjadi, hingga akhirnya UN hanya menjadi ladang perburuan untuk meraih angka tinggi yang pada kenyataannya justru malah menghancurkan masa depan peserta didik lantaran telah diajari untuk berbohong dan berbuat tidak jujur. Nah, bagaimana? ***

0 komentar:

Posting Komentar